Surabaya - Sejak dipercaya menjadi talent scouting PSSI, pada 26 Mei 2025, Simon Tahamata menjadi figur penting di balik layar yang bekerja senyap memantau bibit muda terbaik di seluruh Indonesia. Mantan pemain Ajax Amsterdam dan eks bintang timnas Belanda ini kini menjadi bagian penting dalam peta pembinaan jangka panjang sepak bola Indonesia.
Dalam wawancara khusus bersama media PSSI, Simon berbicara terbuka tentang hasil program scouting, evaluasi sistem yang berjalan, hingga rencana membangun fondasi Timnas U-17 untuk menatap Piala Dunia U-17 berikutnya.
Sejak Anda memegang peran sebagai talent scouting PSSI, bagaimana Anda menilai efektivitas program yang dijalankan selama ini?
Simon Tahamata: Langkah awalnya sudah cukup baik. Ada beberapa database pemain dari berbagai daerah. Tapi untuk memastikan, saya harus lihat dan nilai sendiri. Seperti saat pertama kali datang, pas 26 Mei di hari ulang tahun, saya bilang ke pak Erick, "jangan kasih saya laptop atau komputer, tapi kasih saya bola karena di bola saya punya kehidupan," Hingga usia saya 69 tahun sekarang. Jadi saya harus konsisten, observasi, dan buka komunikasi dengan orang-orang di lapangan.
Talenta seperti apa yang paling banyak Anda temukan selama ini?
Simon: Banyak pemain punya kemampuan teknis bagus, cepat, dan kreatif. Tapi yang masih perlu dibangun adalah disiplin dan mental bertanding. Bakat itu penting, tapi tanpa karakter, pemain akan cepat hilang.
Lalu talenta apa yang Anda butuhkan?
Simon : Jika ada talenta pemain yang datang, saya mau bicara dengan pemain itu. Saya akan tanya, kamu mau menjadi pemain bola? Mau bagaimana? Apa perasaan menjadi pemain bola? Jika sedikit ada saja perasaan yang tidak total atau ragu-ragu, saya terus terang katakan, jangan!
Tapi jika datang dengan hati kuat mau jadi pemain sepakbola hebat, maka kita akan lihat kemampuannya. Yang pertama adalah hati yang kuat dan rasa percaya diri. Begitu pula di Ajax. Jika datang dengan wajah tanpa optimistis, maka lebih baik tak perlu datang.
Apa tantangan terbesar dalam mencari pemain usia muda di Indonesia?
Simon: Indonesia negara besar, tantangan bukan hanya soal menemukan pemain, tapi memastikan mereka mendapat pembinaan berkelanjutan.
Indonesia banyak anak yang punya bakat dan mau bermain bola. Tapi perlu ditanamkan kepada pemain-pemain muda itu untuk kerja keras. Di Garuda United untuk usia U16, saya lihat beberapa pemain mau berlatih dan berusaha sangat keras. Itu bagus. Tapi perlu lebih dari sekadar itu.
Istilahnya, jika saya bicara detil, mereka harus punya banyak akal dan cara berfikir cepat dalam bermain bola, yaitu saat terima bola di posisi tertentu, mereka harus tahu akan diarahkan kemana bola itu. Hal-hal detil itu yang menjadi perhatian saya.
Apakah hal itu berbeda dengan di Belanda atau Eropa?
Simon : Ya, di Belanda sejak usia 8 tahun, sudah ada seleksi bagi calon-calon pemain masa depan. Di Indonesia, terus terang, sudah terlambat dengan bikin seleksi dengan umur lebih muda lagi. Di Indonesia kita mulai seleksi dari usia 13-14 tahun.
Secara perlahan dan harus kita ikuti seperti di Eropa yaitu sejak 8 tahun. Namun butuh waktu dan mesti sabar sedikit. Karena bagaimanapun juga, kita tidak bisa paksakan anak-anak di usia tersebut. Kita bisa pula berhubungan dengan sekolah sepakbola. Itu bisa dicoba karena perkenalan dasar di usia paling dini sangat penting sehingga di usia 13-14 tahun, kita sudah tahu apakah pemain muda ini berbakat atau tidak.
Temuan dan Hasil Pemantauan Lapangan
Apakah ada temuan menarik dari hasil pemantauan di daerah?
Simon: Ada banyak pemain potensial di luar radar akademi besar. Saya lihat anak-anak dari Maluku, Sulawesi atau di Pulau Jawa, seperti kemarin saya lihat di Jogyakarta U16, ada beberapa pemain punya talenta alami yang luar biasa. Ingat, ketika saya gendong seorang anak di Persipal, Palu, saya suka dengan dia karena meski bertubuh kecil, ia beberapa kali mampu melewati pemain lawan yang lebih besar. Artinya, ia punya akal dan mental bagus. Tugas kita, memastikan mereka mendapat kesempatan yang sama.
Dalam pemandu bakat di Indonesia apa yang Anda cari?
Simon : Saya cari pemain di semua posisi, yakni depan, striker, gelandang, sayap kiri, sayap kanan, dan belakang. Kita cari pemain yang mau berduel satu lawan satu untuk memperebutkan bola. Saya sendiri bermain sebagai sayap kiri. Saya sering, saat satu lawan satu, kehilangan bola. Tidak apa-apa, coba lagi. Jika hilang bola lagi, coba lagi satu lawan satu. Karakter itu yang ingin saya temukan.
Begitu pula, untuk pemain bertahan harus banyak belajar. Misalnya, jika datang bola tinggi, kita bisa kembalikan bola ke kiper, atau buang ke depan dengan resiko hilang bola. Padahal di permainan, sangat penting untuk menahan bola kan? Sebab, jika tidak pegang bola, tidak bisa bikin gol. Prinsip-prinsip itu tampak kecil. Tapi dari hal kecil ini kan, bisa jadi besar pengaruhnya.
Jadi tantangan terbesarnya memang mencari pemain berbakat ya?
Simon : Memang. Jadi saya mesti melancong. Saya bicara dengan pak Erick, saya mesti melancong dan bermain dengan anak-anak di atas lapangan bola karena itu kekuatan saya.
Bagaimana Anda menilai kualitas pemain muda Indonesia secara keseluruhan?
Simon: Secara teknik, mereka punya modal bagus. Tapi untuk bersaing di level dunia, mental dan pemahaman taktik harus ditingkatkan. Itu sebabnya scouting tak hanya melihat pemain saat bertanding, tapi juga bagaimana dia berpikir dan beradaptasi.
Saya pergi ke Bali, ke Bogor, Palu, dan Jawa, saya bilang saya ingin bekerja dengan anak-anak. Saya mau kasih contoh bagaimana cara mendapat bola dari arah depan, apakah di terima dengan kaki kiri atau kaki kanan. Latihan harus dengan intensitas tinggi, seperti di Belanda, semua anak-anak berlatih keras.
Dalam bermain sepakbola, apa yang paling penting? Jika ada pemain berlari dua, tiga, atau lima kilometer sepanjang pertandingan, lihat bagaimana ia berlari. Apakah dengan bola, atau tidak? Saya sudah melatih anak-anak Garuda United 16 tahun, talentanya banyak dan mau bekerja keras bermain bola. Saya fokus ke teknik yang paling penting. Contoh mudahnya, saat duel satu lawan satu, maka harus menang.
Apakah sudah ada peta sebaran talenta nasional sebagai acuan PSSI?
Simon: Saat ini belum. Karena saya baru enam bulan bekerja sejak Mei. Intinya, kami sedang bangun sistem itu. Kami ingin punya national talent map—data yang bisa dipakai jangka panjang semua pelatih timnas, dari U13 sampai senior.
Setelah tampil di Piala Dunia U17 Qatar, bagaimana Anda melihat arah pembentukan tim baru menuju edisi berikutnya, seperti yang diharapkan Erick Thohir?
Simon: Kita sudah punya pengalaman berharga dari dua edisi terakhir. Untuk edisi berikutnya, fokus saya adalah mencari pemain dengan kemampuan bermain cepat, berani mengambil keputusan, mau kerja keras, dan bisa bermain dalam sistem modern. Fokus di usia 16 tahun yang mau kerja keras, punya teknik dasar yang baik, seperti bagaimana kemampuan mereka bermain one on one, dan mental yang kuat.
Pak Erick, punya tujuan membawa anak muda muda menjadi lebih baik dan naik level Indonesia semakin tinggi. Begitu pula, Alex Zwiers, Direktur Teknik, juga bilang mau bawa pemain bola ke level tinggi. Jadi saya disini juga ingin membantu dan bekerjasama mewujudkan hal itu.
Bagaimana Anda menilai coach Nova Arianto, pelatih Timnas U17?
Simon : Menurut saya, coach Nova bekerja bagus. Coach Nova kasih contoh ke kita semua, termasuk pemain, bagaimana kalau mau menjadi pemain bola untuk timnas Indonesia harus kerja keras, dan mesti belajar. Dan itu terbukti dengan hasil lolos ke Piala Dunia U17 dari babak kualifikasi.
Target berapa jumlah pemain yang akan dicari untuk persiapan U17 tahun depan?
Simon: Direktur Teknik, Alex Zwiers bilang butuh 30 anak-anak. Dari angka itu, bisa bikin seleksi untuk tiga lini penting, depan, gelandang dan bertahan. Kami juga menggunakan video analisis untuk menilai pemain. Sejauh ini, meski baru mulai, sudah ada seleksi untuk U16
Apakah Anda akan mengombinasikan dengan Elie Pro Academy?
Simon: Meski saya belum lihat Elite Pro Academy, saya nilai baik jika bisa dipadukan. Saya akan pergi melihat program itu. Bukan tidak mungkin di kombinasi dan bekerjasama, karena kalau usia 15/16 perlu bermain di kompetisi. Mereka berlatih harus ada pertandingan. Jika tidak ada pertandingan, maka akan hilang kemampuannya.
Anda lama berkarier di Eropa. Apa pelajaran terbesar yang Anda bawa ke Indonesia?
Simon: Disiplin dan sistem. Di Eropa, semua terencana dari latihan sampai nutrisi. Di sini, kita masih perlu membangun budaya itu karena Indonesia punya potensi besar.
Apa harapan Anda terhadap sistem scouting ke depan?
Simon: Saya ingin Indonesia punya sistem scouting yang menyatu dari akar rumput hingga elite. Bukan hanya untuk mencari pemain, tapi membangun karakter nasional sepak bola Indonesia. Direktur Teknik, Alex Zwiers juga sudah menekankan hal itu sebagai fondasi yang kuat untuk pembinaan yang berkelanjutan.
Pesan untuk pemain muda Indonesia?
Simon: Jangan hanya bermimpi jadi pemain timnas, tapi belajar bagaimana menjadi profesional sejati. Kerja keras, rendah hati, dengar kata pelatih dan selalu ingin belajar. Itulah jalan untuk sampai ke sana. Saya senang jika sudah di atas lapangan. Saya senang dengan anak anak. Di Ajax, ada anak kecil 7 tahun bertanya kepada saya, saya selalu kasih saran. Tapi di Ajax juga, jika ada orang tua ikut berteriak selain pelatih, maka saya akan larang masuk dan suruh mereka shooping. Sebab jika sudah di lapangan, hanya satu yang punya otoritas, yakni pelatih yang memang bertugas untuk menolong anak-anak muda itu mengembangkan kariernya
@2024 KSA Persebaya. All rights reserved.